Lama sekali baru menulis lagi...ππ Kali ini mau cerita tentang masa awal perkawinan, sebagai cerita buat anak-anakku tercinta.
Menikah....suatu perjalanan baru, yang sudah ku tekadkan untuk berani menghadapi tantangan di depan, dan berupaya sebaik mungkin menjalankannya. Aku juga memutuskan dalam hati untuk menjadi istri yang tangguh, tidak cengeng dan mandiri menjalankan tugas sebagai istri dan suami. Dalam kepala sudah dicetak, mas Agung memiliki tugas dan tanggung jawab yang membuatnya tidak akan selalu ada 24 jam di sisiku dan anak-anak kelak. Tugasnya adalah konsentrasi penuh pada pekerjaan dan membina kariernya sebaik mungkin untuk menjamin masa depan keluarga kami.
Saat awal kami menikah, aku masih bekerja. Kondisi finansial kalau dilihat dari gaji, jauh sekali besar gajiku berlipat-lipat dari mas Agung. Namun sudah diputuskan, gaya hidup dan kebutuhan kami harus dicukupi dari gajinya. Gajiku masuk ke tabungan. Sebagai istri tentara, hidup sederhana adalah pilihan yang tersedia, untungnya dan aku rasa itu juga keuntungan mas Agung punya istri kayak aku..π, aku tak punya tuntutan besar pada gaya hidup, bukan karena terpaksa, tapi memang bukan disitu kebahagiaanku. Aku lebih memilih untuk membeli buku bagus dan mahal lalu duduk di rumah membacanya.
Di akhir tahun pertama menikah, aku hamil. Kami tinggal di Surabaya berdua saja. Kehamilan tidak berjalan enak nyaman. Kalau orang lain hamil mualnya hanya 3 bulan pertama, aku mengalami 7 bulan. Tidak bisa bicara banyak, bergerak banyak, tidak bisa makan, karena kalau aku melakukan itu semua langsung muntah, blas gak ada enak-enaknya. Pulang ke rumah orangtua ? Tidak terpikirkan, seingatku kami tidak pernah membahas kemungkinan itu. Tiap pagi sebelum berangkat kerja, mas Agung menyiapkan termos air panas dan Marie Regal di samping tempat tidur, yang belum tentu juga aku sentuh sampai dia pulang. Lama-lama masuk angin dong, sakitnya itu, mulai dari perut sampai ke ulu hati, bergerak tambah sakit, akhirnya berdoa saja. Saat itu belum ada telpon, jadi tidak ada ceritanya, telpon suami di jam kerja hanya untuk minta dia pulang karena istrinya sakit. Makan malam selalu direncanakan sejak malam sebelumnya, nanti mas Agung pulang bawa makan malam. Kenapa begitu ? Ya karena mau makan itu harus mengkhayal dulu makanan apa, kalau tidak, makanan gak bisa ditelan.
Menjelang kelahiran, kami kembali ke Jakarta, karena mas Agung juga harus berlayar. Dea lahir di Jakarta. Mas Agung masih layar. Papa dan mama yang menemani. Mas Agung baru kembali setelah Dea berumur seminggu. Tiga bulan kami tinggal di Jakarta. Saat Dea berusia 4 bulan kami kembali ke Surabaya. Petualangan sesungguhnya dimulai.
Tanpa pembantu, hanya kami bertiga. Beres-beres rumah, memasak, mendampingi Dea aku lakukan sendiri. Menemukan berbagai cara dan trik melakukan berbagai tugas sambil memiliki anak, membuatku tertantang.Tantangan demi tantangan itu sungguh membuat hidup terasa bergairah bersemangat....
Menemukan lagu pengantar tidur Dea tidak sengaja, Edelweiss yang akan membuatnya merasa mengantuk setiap kali mendengarnya, membuat makanan sehat untuk bayi, sambil membersihkan rumah, mencuci menciptakan cerita berbeda setiap hari. Tiap kali mas Agung pulang, dia akan mendapat cerita baru tentang permata hatinya. Tugas mas Agung tiap pulang kerja adalah bermain dengan Dea, sementara aku mengerjakan hal lain yang tidak sempat aku kerjakan saat mas Agung belum pulang.
Kenapa tugas mas Agung bermain dengan anak, ya alasan sederhana, waktunya bersama anak-anak tidak banyak, keterikatan batin bapak dengan anak harus terbangun erat. Terbukti kedua anak kami, tidak pernah lupa wajah ayahnya walaupun ditinggal layar berbulan-bulan. Yup, betul, tugas berlayar mas Agung itu bisa berbulan-bulan, semua keluarga besar TNI AL memiliki kisah yang mirip. Mandiri selalu menjadi pilihanku dan mas Agung. Tidak pernah setiap mas Agung berlayar, aku dan Dea pulang ke Jakarta. Kami menikmati waktu berdua.
Suatu kali mas Agung pulang layar, lalu mendadak pulang dan bilang, "kita pindah ke Jakarta, dan aku berangkat besok, honey dan Dea bisa menyusul ?" Eiiiitsss.....harus bisa dong, kalau mas Agung balik lagi ke Surabaya jemput kami, biayanya banyak. Jadilah aku dan Dea tinggal. Aku harus membereskan barang-barang yang akan dibawa ke Jakarta. Kepindahan pertama ini memberikan pelajaran, kami tidak perlu memelihara barang, menghias rumah, supaya kalau kami pindah tidak perlu ada barang yag dibawa selain baju saja. Aku dan Dea naik kereta api ke Jakarta. Dua tempat duduk kami beli. Dea belum bisa jalan, masih bayi.
Sepanjang perjalanan ke Jakarta, aku harus menjaga supaya dia tidak rewel dan mengganggu penumpang lain. Andalanku ASI, menyanyi dan bermain. Lagu Topi Saya Bundar, Kepala Pundak Lutut Kaki saya nyanyikan berulang-ulang, sambil mengerakkan tangan Dea mengikuti lirik lagu. Dea bisa tersenyum lebar, tertawa ceria dengan mata berbinar-binar setiap diajak menyanyi dengan gerak seperti itu. Penumpang lain mungkin kesal dengar suaraku yang tidak merdu, tapi itu pilihan terbaik daripada dengar suara bayi menjerit-jerit kan bro....π
Kalau mau ke kamar mandi, aku tunggu sampai Dea tertidur dan aku titip penumpang depan untuk menjaga Dea. Lari ke toilet dan kerjakan dengan cepat. Balik Dea masih nyenyak. Sepanjang perjalanan tidak ada insiden Dea menangis, sekali saja tidak. Dia teman perjalanan jauh yang menyenangkan, bahkan sejak bayi. Untukku itu prestasi luar biasa bagi diriku sendiri...hehehehehehe
Ada kisah perjalanan lain yang kami lakukan bertiga, kali ini sudah ada Tista, ke Lampung. Mas Agung ada kegiatan di Lampung, dan kami menyusul. Perjalanan dengan bisa malam. Dea sudah TK Besar, Tista berumur 1.5 th, sudah jalan tapi masih oleng. Dea berlaku sebagai kakak, dia duduk dengan penumpang lain di sebelahku. Aku duduk dengan Tista. Entah bagaimana prosesnya, yang jelas kami sampai di Lampung jam 4 pagi, menunggu dijemput di area pelabuhan yang kelak aku tahu itu daerah berbahaya. Saat belum tahu rasanya biasa saja. Sambil gendong Tista, tangan satu menggandeng Dea, yang satu lagi sikat gigi di pinggir jalan, supaya nampak galak kan....π Akal itu harus selalu ada.
Saat mas Agung di Surabaya kami tidak ikut, apa yang membuat kami tidak ikut? Sekolah, karena Dea sudah sekolah kami tidak ikut. Tapi itu tidak lama. Kemudian mas Agung pindah kembali ke Jakarta. Kali kedua kami di Jakarta, kami sudah tinggal di Ciangsana. Kami tidak tinggal bersama orangtua lagi. Diwarnai tugas belajar mas Agung ke Amerika, dan tetap berlayar karena mas Agung menjadi komandan kapal. Tetap tanpa pembantu, kecuali saat mas Agung di Amerika, yang anehnya begitu mas Agung pulang, itu pembantu juga selesai. Yup, kami memiliki pembantu tetapi itu tidak berarti dibanding perjalanan keluarga kami yang mandiri. Aku tidak memiliki kemewahan untuk punya pembantu bertahun-tahun seperti yangti dan mama. Hanya pendek-pendek sekali. Bangun jam 2 pagi, bikin roti untuk dijual Suminah keliling kompleks, masak makan pagi dan makan siang untuk Dea, Tista dan Alda, jam 4 bangunkan anak-anak. Mandi, dan jam 0530 aku antar mereka ke sekolah, antar les, antar Alda ke Bulak Rantai, lalu pulang. Jika ada kegiatan organisasi, aku drop anak-anak di sekolah, nanti papa yang jemput. Selesai kegiatan aku jemput mereka ke Bulak Rantai dan pulang ke Ciangsana. Masa-masa yang sangat dinamis dengan jadwal yang padat, jualan kue, sekolah, les, lomba, organisasi. Anakku 3 orang.....Dea Tista Alda....mereka les yang sama, lomba yang sama, kegiatan yang sama, makan yang sama. Di masa SD itu Dea dan Tista sama-sama dijahit dagunya, jatuh karena sebab berbeda, tapi jahit di tempat yang sama. Hanya Dea saja yang operasinya ditunggu mas Agung. Dengan Tista, mas Agung hanya dapat ceritanya saja. Petualangan 4 perempuan yang sangat menyenangkan.
Setelah kami pindah dari Kupang, kami memutuskan untuk menarik anak-anak dari sekolah, aku ambil alih tanggung jawab pendidikan anak-anak. Saat itu Dea sudah di kls 1 SMP dan Tista masih di kls 4. Mengajar mereka di rumah, memilih guru les matematika dan fisika, mengantar mereka les ke kota lain seminggu 2x, aku lakukan sendiri. Ada supir sebetulnya, tapi karena jam les anak-anak sampai malam, aku kasihan, waktunya yang untuk keluarganya sendiri malah harus antar anak-anak. Jadi biarpun mas Agung jadi komandan lanal, aku tetap supir anak-anak. Memiliki anak buah tidak membuatku berpikir semena-mena, tugas mereka hanya di jam kerja mereka saja. Di luar jam kerja itu menjadi tugasku. Sejak di Jakarta sampai mereka besar, aku adalah supir anak-anak. Mereka tanggung jawabku. Aku tidak percaya juga kalau harus pakai supir, takut terjadi apa-apa. Toh aku juga tidak bekerja lagi.
Dea dan Tista selalu ikut kemana saja mas Agung bertugas hingga mereka lulus SMA. Saat mereka sudah di perguruan tinggi saja mereka tidak ikut lagi. Hanya aku saja yang ikut mas Agung. Untuk ini aku harus minta maaf sama Dea, karena memberikan beban menjaga rumah dan anjing burung dan ikan padanya. Mama papa minta maaf ya kakak sayang. Tapi Dea dan Tista brprestasi di bangku kuliah, mama papa juga berterimakasih karena semua seudah menunjukkan kerja keras dan hasil yang baik.
Walaupun ibu rumah tangga tanpa penghasilan pribadi, tapi memastikan suami bisa bekerja tanpa terganggu urusan domestik rumah tangga dan anak-anak, memastikan anak-anak tumbuh sehat, lincah, pandai, memastikan penghasilan suami cukup dan bisa ditabung, memastikan kehidupan pribadi dan anak-anak adalah petualangan menyenangkan sarat ilmu dan ketrampilan adalah prestasi yang harus dikejar setiap perempuan yang memutuskan untuk menjadi istri dan ibu.
Untukku, rumah tangga dikepalai dua orang dewasa dengan tugas dan tanggung jawab berbeda yang masing-masing harus mandiri dalam mengerjakannya adalah rumah tangga yang baik. Suami memastikan pekerjaannya berjalan baik, kariernya meningkat untuk memastikan kesejahteraan keluarganya. Istri memastikan semua urusan domestik tidak mengganggu tugas dan kewajiban suami. Keduanya memiliki bobot tanggung jawab yang sama penting. Jika diibaratkan penugasan, andai aku adalah komandan, aku akan senang kalau kalau memiliki wakil yang bisa diandalkan, memiliki inisiatif, bisa bekerja tanpa harus diarahkan terus menerus. Tidak satu lebih penting dari yang lain. Suami istri sama pentingnya.
Tak terbayangkan jika mas Agung berlayar, isi kepalanya masih sibuk memikirkan kamar mandi di rumah, popok bayi yang dicuci, pr sekolah anak yang belum dikerjakan, cicilan rumah yang tidak dibayar karena uangnya selalu habis buat ngopi-ngopi, dan lain lain. Pasti bawaannya ingin cepat sandar dan cepat kasih intruksi. Mungkin lama-lama minta dibebaskan dari tugas berlayar saja demi mengurus rumah, istri yang selalu menunggu instruksi dan anak-anak yang harus diajari. Mungkin gak akan sampai dapat bintaang dua...π
Mb Dea, adek Tista, Alda, mudah-mudahan cerita ini bisa menjadi inspirasi buat kalian kelak saat memutuskan menjadi istri dan ibu. Buat variasi yang paling cocok dengan kehidupan kalian masing-masing, tapi jadilah perempuan, istri dan ibu yang bisa diandalkan suami dan anak-anak. Terus belajar dari berbagai sumber, karena ilmu parenting dan manajeman rumah tangga itu berkembang menyesuaikan jaman. Belajarlah dari siapa saja, bertemanlah dengan orang-orang pandai dan cerdik di sosial media, timba ilmu dari sana. Jika kalian memiliki anak, bertemanlah dengan orang-orang yang concern dengan pendidikan anak. Jangan pernah merasa sudah tahu, lebih baik kalau merasa belum tahu, belum cukup ilmu sehingga selalu bisa menerima berbagai pandangan, mengolahnya dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Bila kalian harus menajdi ibu rumah tangga tanpa penghasilan pribadi karena satu dan lain hal, hadapi dengan senang, dengan semangat, temukan tantangan di setiap tugas dan kewajiban, taklukkan tantangannya dan gembiralah dengan hasilnya. Jadilah ibu rumah tangga yang cerdas, lincah, cantik, bijaksana. Jadilah mercusuar rumah tangga yang tegak berdiri menjadi arah dan pegangan.