Loading

School Break

Widya | Friday, July 29, 2016 |
Tahun ini anak keduaku menyelesaikan pendidikan SMA di usia 16 tahun.  Sesuai minat dan bakatnya, Tista akan meneruskan ke sekolah culinary entah ambil pastry atau kitchen.   Sebenarnya kalau mengikuti keinginan, maunya meneruskan ke Cordon Bleu di Malaysia atau Australia, sebagai sekolah masak tertua di dunia.  Namun mengingat usianya yang masih muda dan kurangnya bekal di bidang masak memasak, kami harus menundanya.  Pilhannya jatuh ke Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung.  Sekolah perhotelan ini berbeda dengan sekolah perhotelan lain seperti Trisakti, Sahid atau UPH dan banyak Universitas lain yang memiliki jurusan Hospitality, dimana semua bidang perhotelan dipelajari sekaligus, dan pendidikan diselesaikan dalam waktu 4 tahunm dengan titik berat lebih kepada management.  Sekolah perhotelan STPB ini berbeda, sekolah ini memiliki jurusan pastry dan kitchen berbeda, sehingga lebih spesialisasi lagi.

Tista ikut tes masuk di STPB ini sebanyak 2 kali, ikut di dua gelombang, dan kedua-duanya gagal.  Tes masuk meliputi tes Bahasa Inggris tertulis, tes Kesehatan, tes Psikologi dan tes Interview.  Tes interview Tista melaluinya dengan sukses, dilakukan dengan wawancara dalam bahasa Inggris secara penuh.  Dosen yang mewawancarainya memberikan nilai tertinggi, bahkan meminta Tista untuk memberikan sedikit saran mengapa bisa berbahasa Inggris itu penting dan merekamnya sebagai video.  Tes Bahasa Inggris tertulis juga kemungkinan gagal kecil, karena di EF Tista berada di kelas tertinggi.  Kemungkinan kegagalan ada di tes Psikologi, mengingat usianya yang masih muda dibandingkan teman-teman lain dan beban sekolah di STPB yang tidak ringan.

Sejak pengumuman gelombang kedua keluar, aku berusaha memberikan pengertian kepada Tista, bahwa hidup tidaklah selalu seperti teori yang juga tidak selalu benar. Sekolah secara berkelanjutan.  Di banyak negara maju, murid-murid SMA tidak selalu langsung meneruskan ke perguruan tinggi.  Kebetulan pada tahun ini, putri presiden Amerika, Malia Obama juga menyelesaikan pendidikan di SMAnya dan tidak langsung melanjutkan ke perguruan tinggi.  Malia berhenti setahun, sebelum meneruskan pendidikannya ke Harvard.  Apa yang Malia lakukan, aku sampaikan ke Tista.  Tista memiliki banyak pilihan yang bisa dikerjakan dalam setahun ini.  Dia mendapatkan tawaran untuk bekerjasama dengan KOKIKU.TV, membangun blog memasaknya, dan mengambil banyak kursus masak dan kue dalam rangka memperbanyak pengetahuannya di bidang masak memasak.
Dia setuju, namun mau mencoba sekali lagi untuk daftar ke NHI swasta, Akademi Pariwisata.  Aku mengabulkannya, namun kalau ini juga tidak berhasil, dia sudah bisa menerima dengan berbagai pilihan kegiatan yang sudah dipersiapkan.

"School-break"....sudah pernah kami lalui dengan putri sulung kami Dea.  Dea bahkan mengambil school-break 2 tahun.  Tahun pertama diisi dengan kegiatan bermusik dan fotografi, tahun kedua dia kerja sebagai bagger di Amerika.  Dan sekarang di kampusnya Dea termasuk mahasiswa yang bersinar, terpilih menjadi 10 besar mahasiswa terbaik di dua angkatan.  Kalau Tista melakukannya, maka ini akan menjadi yang kedua bagi keluarga kami, sama seperti pilihan belajar dengan cara home-schooling yang kami lakukan bertahun lalu, urusan pendidikan anak-anak kami tidak sama dengan kebanyakan keluarga dalam keluarga besar kami. Kali inipun, aku dan Tista akan bahu membahu untuk membuktikan bahwa tidak langsung meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi bukanlah kiamat dan banyak yang bisa dilakukan untuk persiapan menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.

let's do it together my princess..... I believe in you, your shinning future is already in the corner.

Kalau Tista berhasil masuk di Akademi Pariwisata NHI, maka tidak ada school-break.....but we are ready for any option.

Read More
Be the first to comment!

Camping di Tanakita Camping Ground

Widya | Wednesday, July 20, 2016 | |
Tanakita camping ground berada di kawasan taman nasional Gede Pangrango.  Kalau kita dari Jakarta  ke Sukabumi melalui Ciawi, terus saja ikuti jalan utama ke Sukabumi.  Melewati kawasan berikat pabrik-pabrik, pasar-pasar tradisional, kawasan wisata Lido, Sekolah Polisi Negara Lido hingga menemui Polres Cisaat.  Sebelum Polres Cisaat itu belok kiri, melewati Pusat Pelatihan Icuk Sugiarto, pebulu tangkis nasional. Terus menanjak hingga masuk gapura Kawasan Taman Nasional Gede Pangrango.

Awal mengajak papa dan mama yang sudah berusia cukup lanjut, ada keraguan, karena biasanya daerah camping ini menanjak untuk sampai lokasi tenda.  Tapi ketika kendaraan kami bisa parkir di sisi area tenda, semua kekhawatiran sirna. Kami datang cukup pagi, karena kami berangkat jam 0500 pagi dari Ciangsana Cibubur, sehingga kurang lebih jam 0900 kami sudah tiba lebih dulu di Tanakita. Cepat-cepat kukirim pesan pendek ke mama, mengabarkan kemudahan dan kenyamanan yang bisa dinikmati orang-orang usia lanjut.  Mobil hanya parkir sementara di sisi area kemah, untuk menurunkan orang dan barang saja, nanti mobil akan diparkirkan oleh petugas ke tempat parkir yang sudah tersedia.
Satu lagi kemudahan, kalau tidak ingin mengalami macet di sepanjang jalan ke Sukabumi, bisa naik taksi dari Jakarta ke Stasiun Bogor, dan naik kereta ke Cisaat. Nanti dijemput oleh angkot yang sudah kita koordinasikan dengan pengelola Camping Ground sebelumnya.  Cukup membayar 100rb rupiah untuk satu angkot.

Camping di Tanakita, tidak perlu membawa logistik sendiri, kopi dan teh tersedia 24 jam, self service.  Makan pagi, siang dan malam plus 3 kali snack sudah disediakan.  Termasuk acara api unggun dengan jagung bakar dan wedang ronde.  Pokoknya gak sempat kelaparan.  Tapi kalau takut tidak bisa makan atau punya makanan kesenangan sendiri, bisa bawa dan masak sendiri.  Dapurnya boleh dipinjam.  Yang paling menarik makan pagi, selain nasi dan kelengkapannya, disiapkan bahan pan cake dengan kompor buatan sendiri.  Bisa membuat pancake sendiri, tentu saja anak-anak yang plaing senang.  Mereka bisa pura-pura sedang berjualan pancake dengan melayani pesanan anggota keluarga.

Kami memilih 4 tenda di pojok, 2 menghadap Selatan, 2 menghadap Barat, sehingga masih ada wilayah kosong di pojok area kami, untuk nanti kegiatan memasak dengan kompor percobaan papanya Alda.  Untuk setiap rombongan disediakan satu tour guide yang akan mengantar kami kemana kami mau dan menawarkan kegiatan apa saja yang bisa kami lakukan.  Tour guide kami bernama Asep, sopan dan komunikatif serta ringan tangan.
Tenda yang disediakan bisa muat untuk 3 matras tidur, dan disiapkan juga sleeping bag yang wangi dan bersih supaya tidak kedinginan di malam hari.

Setelah beres-beres tenda, kami berjalan ke danau Situgunung yang berjarak 700meter dari area tenda.  Saat berangkat sih enak, jalannya datar dan menurun.  Tapi ketika pulang, lumayan berat di tanjakan untukku yang sedang flu, nafas satu-satu.......aigoooo
Danau Situgunung indah, karena kami camping di bulan puasa, maka danau sepi. Tapi dengan sepinya itu danau jadi menarik, memberikan ketenangan. Kami banyak mengambil gambar di sini.  Papa dan mama kuat lho berjalan pulang pergi.  Tapi kalau tidak kuat ada jasa ojek.  Aku tidak berani pakai jasa ojek, karena jalannya berbatu, takut tergelincir.  Jalan kaki saja sekalian olahraga.

Dari danau itu kami kembali ke tenda dan charter angkot ke sungai. Sungainya bersih dan ada area tenda di pinggirnya. Area ini lebih sepi, karena hanya berisi sekitar 6 tenda saja.  Air sungai yang dingin tidak menyurutkan keinginan mas Agung untuk berenang di sungai.  Disediakan teh panas dan singkong goreng.....uuuuh enaknya dingin-dingin minum teh panas dan singkong goreng.  Lokasi ini juga lokasi terakhir kalau kita mau ikut tubbing.  Namun kami tidak ikut tubbing karena Dea mau ujian, Alda mau balet.  Tubbing di sini berbeda dengan tubbing di Gua Pindul Yogyakarta yang berair tenang.  Tubbing di Cisaat ini, setiap orang memakai ban sendiri dan meluncur sendiri-sendiri mengikuti arus sungai, meliuk di bebatuan.  Tentu saja alat keselamatannya lengkap, mulai dari pelindung kepala, lutut dan lengan plus pelampung.

Kembali ke tenda, anak-anak dan Albert uji coba kompor buatan yang sudah melalui 9x percobaan pembuatan.  Buat indomie.  Kompor berhasil, namun harus dipikirkan lagi penghalang angin, supaya apinya tidak mati.  Dan jawabannya ketemu saat makan pagi membuat pancake keesokan harinya. Albert sudah memotret kompor buatan Tanakita untuk dicontoh.  Kita pakai di camping berikutnya ya Bet.....

Makan malam dengan menu super banyak......rasanya juga enak. Oh iya snack sore itu Combro dan Pisang Goreng.....kesenangan mas Agung.  Saat makan malam, diiringi musik gitar dan penyanyi yang ternyata para petugas di situ.  Rupanya setiap petugas harus memiliki banyak kemampuan selain menjadi guide, juga bisa memasak, menyanyi, mengemudikan kendaraan.  Selesai makan, karena keluargaku suka musik semua, maka bergabunglah memeriahkan suasana sampai tengah malam.  Sempat terpotong sebentar untuk jalan-jalan melihat kunang-kunang.
Von Trapp dari Bulak Rantai.......senang rasanya melihat Dea, Tista, Alda, Ledy, Albert n mas Agung menyanyi bareng-bareng.

Kesempatan berkumpul dengan keluarga besar sungguh mahal dan berarti.  Mengingat papa dan mama yang sudah berusia diatas 70 tahun, tapi masih sehat, bisa jalan-jalan bersama dan melihat papa mama tersenyum senang, sungguh kemewahan.  Di antara kesibukan yang membuat kami jarang bisa bertemu, menginap semalam bersama sungguh istimewa.  Semoga Tuhan masih memberikan kesempatan kepada keluargaku untuk bisa berlibur bersama-sama lagi.
Syukur kepada Tuhan, saat papa mama masih sehat, anak-anak kami juga sudah dewasa untuk bisa mengingat peristiwa-peristiwa yang menyenangkan bersama eyangnya.
Read More
Be the first to comment!

Main Kolintang

Widya | Wednesday, July 20, 2016 |
Kolintang alat Musik tradisional dari Menado, Sulawesi Utara.  Terbuat dari kayu yang tersusun dari nada rendah ke nada tinggi.  Dalam satu set terdapat 9 alat dengan nama dan bunyi yang berbeda.  Kesembilan alat itu dimainkan dengan cara dipukul, namun memiliki variasi pukulan yang berbeda dan saling mengisi sehingga menjadi lagu yang indah. Bermain kolintang tidak bisa saling meniru pukulan alat lain, masing-masing pemain harus menghafal pukulannya sendiri.

Kesempatanku bermain kolintang datang ketika ada lomba yang diselenggarakan oleh Dharma Pertiwi, dalam rangka ulangtahun Dharma Pertiwi tahun 2016.  Kebetulan aku menjadi ketua seksi budaya di kepengurusan  Daerah Jalasenastri Armada Barat, yang bertanggung jawab untuk lomba kolintang mewakili Jalasenastri.  Awalnya yang bermain untuk alat kolintang jenis Cello bukan diriku, namun mencari pemain lain sunguh sulit.  Akhirnya kupaksa diriku untuk bisa menghafalkan kunci lagu dan pukulannya.  Karena ini untuk lomba, maka aransemen dibuat lebih sulit.
Sementara rekan-rekan lain sudah berlatih 5 kali, aku harus mengejar dalam semalam untuk menguasai alatku.  Sepanjang malam aku menghafalkan partitur dan mendengarkan rekaman yang ada.
Cara belajarku yang menghafalkan kunci C dimainkan sekian kali sebelum pindah ke kunci berikutnya, membuat aku harus menghafal sekian kunci dan sekian not.
Aku bukan seorang pemain musik yang bisa mendengarkan lagu lalu menyesuaikan kuncinya....aku menghafal semua isi partitur dan bermain dengan menghitung.
Sering not-notnya aku bunyikan, dengan pelafalan berbeda tapi bunyinya sama.....nada do sol mi pindah ke kombinasi re fa la tapi bunyinya sama.....mas Agung dan anak-anakku yang sangat musikal tertawa melihat dan mendengar caraku belajar.
Ingat jaman SMA dulu saat aku menghafal partitur paduan suara dalam mobil sepanjang jalan ke sekolah, mungkin saking tidak tahan mendengarkan suaraku, papa bilang...."mbak kamu itu membunyikan nada sol sama mi koq sama..." .....hahahahahahaha......
Caraku menghafal ini juga tidak bisa sambung dengan teman-teman yang lebih musical, kalau kita mau menyamakan nada, mereka akan bilang syair atau bagian lagunya....sementara aku tidak hafal syair dan bagian lagu, aku akan tanya di partitur halaman berapa bagian yang mana, dan merekapun bingung menjawabnya.......ternyata setiap orang memiliki cara sendiri untuk menghafalkan.

Lagu yang kami mainkan saat itu, Manuk Dadali dan Dari Sabang Sampai Merauke.  Alat yang biasa kami pakai berlatih dan alat yang akan dimainkan saat lomba ternyata berbeda ukuran.  Sebagai pemain amatir, perbedaan alat bisa membuat kami lupa semua not dan pukulan.  Hati kami sempat panik.  Sepertinya harus berlatih dengan alat yang memiliki ukuran yang sama dengan alat yang akan dimainkan itu.  Akhirnya kami pindah tempat latihan dari Armabar ke Pasmar di Cilandak.  Agak lumayan mengobati kepanikan.  Usaha dan latihan kami tidak sia-sia, tim gabungan  Jalasenastri meraih juara pertama.  Horeeeeeee.........

Setelah perlombaan itu, Armabar tetap meneruskan berlatih sebagai persiapan lomba berikutnya.  Di bawah asuhan pelatih senior pak Boy Makalew kami menyiapkan 2 buah lagu Neng  Geulis dan Nenek Moyangku.  Lawan terberat kami tim Pasmar 2, yang sebagian anggotanya adalah teman-teman seperjuangan kami saat lomba di Dharma Pertiwi.  Kami saling tahu kemampuan masing-masing.  Pelatih kami pak Boy, memegang 4 tim, juga mengatakan hal yang sama.  Tim Armabar akan menjadi lawan terberat tim Pasmar 2, tergantung mana yang lebih siap saat lomba, dengan aransemen yang hampir sama sulitnya di lagu wajib Nenek Moyangku.  Lomba yang kontroversial, salah satu juri bukan juri yang menguasai atau dapat bermain kolintang.  Saat kami naik panggung, ketika melirik barisan juri, hati kecilku sudah berbisik ada sesuatu yang akan merugikan tim kami.  Dan bisikan hatiku menjadi kenyataan, kami kalah total, bahkan dari tim dengan aransemen sederhana dan penyanyi bersuara false.  Tidak satupun nomor kami raih.  Setelah mendengarkan rekaman lomba, semakin jelas kalau lomba ini layak mendapat julukan lomba yang kontroversial.

Kekalahan tim kami, malah membuat kami bertekad berlatih terus dengan aransemen yang semakin sulit.  Dan aku memang minta kepada pelatih untuk memberikan aransemen lagu yang sulit dan lebih rumit.  pelatih kami memberikan lagu Logika yang aransemennya keriting.  Memerlukan 6 kali pertemuan untuk mengerti alur bermainnya.  Dan karena kami akan tampil lagi di acara intern, latihan dipacu menjadi setiap hari di minggu terakhir plus masih ditambah satu lagu baru lagi yang lebih mudah.  Total kami harus menghafalkan 2 lagu baru dan 2 lagu lama. 4 lagu.....!!!
Untuk pemain profesional mungkin ini bukan hal yang sulit.  Tapi aku baru bermain alat ini di usia menjelang 50 tahun, dan ini adalah prestasi.
Ternyata otak kita kalau dipaksa dengan semangat dan keinginan bisa menghafal dengan baik.

Bermain musik itu mencerdaskan kata para ahli, mungkin aku akan merasakan manfaatnya dalam beberapa tahun ke depan.


Read More
Be the first to comment!

Translate

Button

Warna Warni Perjalanan